Langsung ke konten utama

New Post

Wisata Sejarah di Kota Lama Surabaya

Wajah Kota Lama Surabaya Kota Lama Surabaya memang sudah lama ada. Namun belum lama dilaunching. Lho, jadi tepatnya bagaimana? Mungkin semua kota mempunyai 'wajah' kota lamanya. Wajah itu mungkin sudah diganti wajah baru, ada yang hanya tersisih dan kini dipercantik lagi hingga menarik lagi.  Begitulah kota lama Surabaya. Memang Kota Lama Jakarta lebih dulu tersohor seantero Indonesia. Surabaya pun ingin mengangkat kekayaan heritage kotanya. Kawasan kota lama Surabaya adalah saksi bisu sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Arek-arek Surabaya turut turun ke jalan melawan para penjajah dengan segenap tenaga dan nyawa.  Surabaya yang terkenal sebagai Kota Pahlawan tentu menyimpan kisah heroik dan bukti-bukti sejarah yang menyertainya. Seperti gedung-gedung, rumah sakit, lapangan, jalan, jembatan, senjata, kendaraan dan lain sebagainya.  Salah satu lokasi bersejarah dalam kisah perjuangan kota Surabaya yakni di kawasan Kota Lama. Terlihat beberapa bangunan jama...

Dari Rumah untuk Lingkungan

Dari Rumah untuk Lingkungan
Dari Rumah untuk Lingkungan

Tergugat oleh Bacaan dan Kenyataan


Entah mulai kapan tepatnya kesadaran untuk peduli lingkungan makin tergugat, yang paling diingat, setelah membaca novel Aroma Karsa dari pengarang kesayangan. Novel yang di awal cerita berlatar di TPA Bantar Gebang, Bekasi, menggambarkan situasi TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang mirip dengan pulau sampah. Tempat dimana sampah dikumpulkan, menggunung, berhektar-hektar luasnya. Sedikit treatment, hanya mengandalkan proses busuk alami dan para pemulung untuk sedikit memilahnya. Hampir semua tercampur aduk, sampah organik, anorganik, sampah rumah tangga, sampah hotel, sampah elektronik, sampah perkakas rumah, sampah onderdil kendaraan bermotor, sampah perabotan dan segala macam sampah. TPA Bantar Gebang bukan suatu daerah yang zero neighborhood, disekitarnya banyak perkampungan warga, yang entah terpaksa memilih domisili disana karena mungkin harga tanahnya lebih murah atau karena pekerjaan/usahanya sebagai pemulung, pengepul barang bekas, sopir truk pengangkut sampah, dan atau pertimbangan lainnya. Tentu bisa dibayangkan, aroma yang menguar dari TPA yang menggunung itu, gas methana, gas karbondioksida, bau busuk, memuakkan terus menyelimuti udara di Bantar Gebang. Apakah warga disana tidak terganggu? awalnya mungkin iya, dan terasa begitu memuakkan untuk pendatang baru, lama kelamaan hidung mereka jadi terbiasa membaui kebusukan, biasa makan dengan banyak lalat beterbangan, ngobrol tanpa masker walau aroma tak sedap dari TPA di kejauhan dan truk-truk sampah yang tiap hari lewat tanpa jeda. Lantas, bagaimana kualitas air disana, bisa kita perkirakan seperti apa tingkat kelayakannya. Lantas bagaimana dengan aspek kehidupan lainnya? Yang pasti banyak dampak buruk yang dirasakan oleh penduduk sekitar TPA Bantar Gebang, yang dimaklumi, dan lama kelamaan diabaikan.

Tak lama, secara spontan me-recall memoriku di jaman kecil dulu. Tak jauh dari rumah, di pelosok kampung ada tanah sekitar kali (sungai) yang dijadikan tempat pembuangan akhir warga. Namun ironisnya disana juga menjadi salah satu tempat bermain anak-anak sebaya, tak tekecuali saya. Seringnya mencari bungkus permen-permen yang bagus untuk dijadikan sebagai alat pembayaran (seperti uang) bila bermain pasar-pasaran. Tak peduli kotor dan bau, anak-anak enjoy saja bermain disana. Saat itu kali/sungai masih cukup baik kondisinya, mengalir lancar. Kelamaan saat saya sudah besar, kali itu 'mati' tertutup sampah-sampah dan bahkan hilang, tertutup tanah sampah dan diatasnya berdiri rumah-rumah warga. Saat ini, tempat pembuangan sampah bergeser ke kali sebelah selatan, ke tempat yang lebih strategis di dekat jembatan penghubung ke desa sebelah. Sangat menggangu kenyamanan pengguna jalan. Kali/sungai juga jadi bernasib sama, tertimbun sampah. Air tergenang, sampah-sampah berserakan. Lebih dari 30 tahun saya mengamati masalah sampah di kampung halaman tidak ada perubahan yang berarti dalam penanganannya. Menandakan bahwa ketidakberesan ini sudah sistemik. Menandakan habit buruk masyarakat yang turun temurun, kurang peduli lingkungan dan kurang edukasi terhadap penanganan sampah, minimnya peran pemerintah dalam penanganan sampah dan mengedukasi warga, dan permasalahan lainnya.

Terbersit niat diri untuk memberikan kontribusi solusi terhadap masalah sampah ini. Peduli dan prihatin saja tidak cukup bila tidak ada aksi nyata. Fakirnya ilmu, selama ini hanya bisa berkontribusi seputar membuang sampah pada tempatnya. Tentu, tidak cukup itu saja, karena "tempatnya" ini sudah tak lagi memadai, sudah menjadi masalah besar dan belum tertangani. Maka saya perlu belajar lebih banyak lagi tentang memperlakukan sampah. Dengan membeli buku 'Mengompos itu Mudah' dan banyak membaca sumber literatur lain, mulai mengikuti cara influencer yang concern lingkungan, mengikuti beragam kulwapp dan kulzoom di komunitas Ibu Profesional yang bertema lingkungan, hingga belajar di kelas berbenah yang berbayar.
Tidak ada kata terlambat untuk berubah, belajarlah, berkembang dan bergerak

Hidup Berkelanjutan (sustainable living)

hidup berkelanjutan (sustainable living)
hidup berkelanjutan (sustainable living)


Insight dan ilmu-ilmu baru yang diserap dari proses belajar mencetus diri untuk berefleksi. Renungan makin memenuhi relung. Hidup yang sudah saya jalani selama ini, hidup yang seperti apa? hidup yang bagaimana? 
Hidup bergaya apa pun yang kita jalani idealnya selaras dengan ajaran keyakinan yang kita anut dan selaras dengan alam tempat dimana kita hidup dan berada. Tempat kita berpijak, bumi beserta alam seisinya, bukanlah milik kita, tugas kita adalah sebagai khalifah/pengelola. Namun, apa kabarnya bumi kita? isu-isu lingkungan tak henti mengabarkan bahwa bumi ini makin 'panas', cuaca ekstrim sering terjadi, penggundulan hutan, sampah menggunung-tercampur tak terolah, mencemari lingkungan dan menyebabkan bencana, membuat lapisan Ozon menipis. Sampah-sampah plastik mengotori lautan hingga termakan biota lautan, polusi udara makin pekat, dan masih banyak lagi. Lantas, akan kah kita biarkan saja bumi makin sengsara, kawan?

Lambat laun, saya mengenal suatu gaya hidup yang menurut banyak sumber adalah gaya hidup yang mulia dan menjadi trending saat ini, yaitu hidup berkelanjutan (sustainable living). Dirangkum dari beberapa literatur, hidup berkelanjutan (sustainable living) adalah gaya hidup yang berkesadaran mengurangi penggunaan sumber daya alam, mengurangi jejak karbon, ramah lingkungan dan selaras dengan alam. Gaya hidup seperti ini yang idealnya kita jalani, agar bumi lestari dan berlanjut hingga ke generasi penerus. Bumi ini bukanlah warisan namun pinjaman dari anak cucu/generasi penerus, maka jangan dikembalikan dalam keadaan yang rusak, haruslah kita jaga, kita rawat agar generasi penerus masih bisa hidup sehat dan layak diatasnya.

Dimulai dari diri sendiri, dimulai dari rumah sendiri, dimulai dari langkah kecil. Dari rumah untuk lingkungan, dari rumah untuk dunia. Fokus pada diri sendiri dulu, dan circle of controll kita. Bangun kesadaran diri bahwa hidup berkelanjutan adalah gaya hidup yang mulia dan diajarkan oleh keyakinan yang kita anut, maka jangan ragu menjadikan laku dan kebiasaan. Selanjutnya adalah membangun habit baik. Ini yang tak mudah, karena penerapannya harus ajeg dan konsisten. Namun bila sudah menemukan strong why-nya, bahan bakar untuk menjalani habit ini cukup sebagai modal. Selanjutnya teruslah berada dalam ekosistem yang se-frekuensi, agar semangat pembaharu itu terjaga terus.

Beragam cara implementasi sustainable living, seperti less waste, hidup minimalis, go green dan berkebun, dan aktivitas lain yang ramah alam. Pertama, mengubah mindset! Seperti halnya mengubah mindset masalah sampah ini menjadi tantangan yang perlu saya perlakukan/treatment. Maka, saya ubah kata sampah menjadi sisa konsumsi. Terasa berbeda, bukan?! Harapannya kita akan lebih responsible atas sisa konsumsi sendiri. Sisa konsumsi sendiri bisa saya treatment apa? Bagaimana caranya agar sisa konsumsi bisa seminimal mungkin? Sisa konsumsiku, tanggung jawabku! Kalau mindset kita tetap menganggapnya sampah, maka akan selamanya semua tertuju ke tempat sampah.

Sisa Konsumiku, Tanggung Jawabku


Berikut beberapa treatment atas sisa konsumsi domestik di rumah sendiri yang sedang saya jalani. Sebagai implementasi dari proses belajar menerapkan hidup berkelanjutan (sustainable living).

1. Mengurangi penggunaan/konsumsi plastik


Membawa kantong belanja sendiri kemana-mana, dalam tas, dalam mobil, juga di kantong motor. Bila sewaktu-waktu memerlukannya, untuk belanja atau membawa barang tidak perlu minta kantong plastik lagi pada si pedagang. Hanya mengambil 'lipstik'nya saja saat membeli produk kemasan berkarton seperti minyak wangi, sepatu/sandal, baju, bedak, dan lain-lain. Membawa kontainer/wadah makanan sendiri saat membeli masakan matang. Membeli produk yang berukuran besar, agar tidak sering-sering membeli dan membuang kemasan plastiknya. Menolak sedotan plastik, langsung minum dari gelas/ tanpa sedotan atau dengan membawa sedotan stainless steel. Menulis notes untuk mengemas dengan packing minimal saat transaksi pembelian online. Tidak lagi menggunakan spons cuci piring, yang kudu kerap diganti dan dibuang. Namun menggunakan bahan jaring yang bisa dicuci ulang.

2. Memilah sisa konsumsi


Kenapa harus dipilah? karena sisa konsumsi yang tercampur akan sulit terurai. Sejatinya Sang Maha Pencipta telah menciptakan suatu sistem di alam bahwa semua yang bernyawa pasti mati. Yang mati akan melapuk, membusuk dan terurai. Tugas kita, manusia, mengembalikan sisa konsumsi organik kembali ke alam, tanpa ada penghalang (plastik/bahan non-degradable).

Ada 3 wadah sampah di rumah, walau tidak seragam bentuknya dan menggunakan apa yang sudah ada, Cukup sebagai sarana memilah.

  1. Wadah sampah organik: kulit buah, sayur, sisa nasi yang sedikit terbuang, bumbu. Menampung sementara sampah organik sebelum masuk ke komposter.
  2. Wadah sampah anorganik: plastik kemasan snack, kemasan bumbu, kertas pembungkus, dll. Dititipkan ke petugas sampah kompleks.
  3. Wadah sampah daur ulang: karton kemasan belanja online shop, botol-botol plastik, tetrapack susu dll. Diberikan kepada pemulung/ petugas sampah dengan kantong berbeda dari sampah anorganik, serta disounding bahwa tersebut adalah sampah daur ulang.
Perlu juga dilakukan swa audit kuantitatif dan kualitatif, pilah sampah dan timbang bobot per harinya. Seperti yang pernah saya kerjakan saat mengikuti dharma wanita kedinasan. Dengan swa audit ini membantu memetakan langkah apa kedepannya untuk mampu mencegah lebih besar, agar gerakan pilah dan olah sampah tidak menjadi lelah.

Pilah sampah di rumah
Pilah sampah di rumah


3. Mengolah sisa konsumsi organik


Sisa konsumsi organik atau dapur, related dengan pola konsumsi keluarga. Keseharian kami, lebih banyak mengkonsumsi sayur dan buah, lebih sering mengkonsumsi ikan daripada daging. Maka, sisa bonggol sayuran, kulit dan biji buah mendominasi sisa dapur, yang semuanya merupakan bahan dari alam, maka perlu kita kembalikan pada alam (tanah) bukan berakhir di tempat sampah. Paling mudah adalah memberi sisa konsumsi ikan atau tulang unggas pada kucing-kucing liar di sekitar rumah. Mari kita lakukan dari yang mudah!

Beberapa yang bisa saya lakukan pada sisa konsumsi organik, sebisa mungkin memanfaatkannya untuk konsumsi lanjutan sebelum benar-benar 'dikembalikan' ke tanah:

  • Mengolah kulit nanas menjadi minuman fermentasi yang enak dan sehat, yaitu Tepache.
  • Membuat ecoenzym dari sisa buah yang belum busuk.
  • Bonggol brokoli masih bisa diiris-iris tipis menjadi tumisan.
  • Kulit telur dijemur kemudian ditumbuk halus sebagai pupuk tanaman
Dan masih banyak kreasi lain yang bisa kita buat dari sisa konsumsi organik ini yang bisa kita cari referensinya di media sosial, seperti membuat sirup dari kulit melon, selai dari kulit nanas dan lain sebagainya.

fermentasi kulit nanas
fermentasi kulit nanas


Sebelum sampai pada proses belajar mengompos, terlebih dulu saya membuat juglangan untuk mengubur sisa konsumsi organik. Ini adalah cara termudah dan tidak perlu banyak maintanance. Siapa pun bisa membuatnya asalkan masih mempunyai 'tanah' di rumah. Namun, terbatasnya tanah di rumah tidak mampu mengimbangi banyaknya sisa organik yang harus ditampung. Maka saya belajar mengompos yang notabene menggunakan 'wadah', jadi cocok digunakan di rumah kompleks yang minim tanah. Dengan mengikuti kulzoom saat wisata ilmu di Institut Ibu Profesional dan juga membaca buku, saya belajar mengompos secara aerob. Sisa konsumsi organik yang tak memungkinkan diolah lebih lanjut masuk ke dalam komposter sedang biji-biji buah yang keras masuk ke juglangan. Dua metode ini yang kini nyaman saya gunakan dalam penanganan sisa konsumsi organik, karena mudah dan solutif. Dulu, sewaktu masih tinggal di Jawa Barat pernah membuat beberapa lubang biopori. Sebenarnya metode ini cocok untuk diterapkan di rumah yang minim tanah. Namun effortnya lebih besar karena harus menggali lubang yang dalam tapi lebih sempit, serta kurang bisa menampung sisa organik yang banyak. Jadi, tidak cukup membuat 1 atau 2 lubang biopori. Maka, metode ini tak lagi saya terapkan di tempat tinggal kami yang baru.

mengompos aerob
mengompos aerob



Dari tanah kembali ke tanah. Mengompos/ mengubur sisa organik ke juglangan adalah cara kita mengembalikan sisa konsumsi kita ke tanah untuk menutrisi bumi sehingga rantai makanan dapat terus berjalan. Inilah yang disebut sebagai hidup berkelanjutan (sustainable living).


4. Mengolah sisa konsumsi anorganik


Selama ini sisa anorganik semacam plastik, kertas, botol, kardus, logam, kaca sebatas dipilah untuk kemudian didistribusikan pada saluran yang tepat. Setelah belajar di kelas berbenah berbayar, saya jadi tahu ada alternatif pengolahan sisa plastik, yakni dibuat Ecobrick.


Menurut zerowaste.id, ecobrick adalah botol plastik yang diisi padat dengan limbah non-biological untuk membuat blok bangunan yang dapat digunakan kembali. Jika reuse dan reduce sudah sangat sulit, maka ecobrick merupakan solusi. Jadi, plastik-plastik sisa konsumsi dipotong kecil-kecil lalu dimasukkan ke dalam botol plastik hingga bobot tertentu (standar ecobrick). Kegiatan ini cocok dikerjakan bersama anak yang mulai besar untuk menyalurkan energinya yang berlebih saat harus di rumah saja. Sembari mengerjakan ecobrick, kami saling berbincang tentang sampah, lingkungan dan isu lainnya. High quality time! Ecobrick terlihat mudah dan sederhana, prakteknya kami menemui beberapa tantangan, diantaranya: butuh effort yang besar untuk mencuci plastik yang kotor, menggunting plastik-plastik yang tak putus tiap hari, botol plastik yang jarang tersedia di rumah karena kami mengurangi konsumsi minuman kemasan, botol yang tersedia tidak seragam bentuk dan ukuran. Sementara ini, kami hanya memilih limbah plastik yang tidak kotor, yang bisa langsung digunting dan menjadwalkan akhir pekan mengerjakan ecobrick.

belajar-membuat-ecobrick
Belajar membuat ecobrick


5. Memilih bahan pangan organik

Hidup berkelanjutan seyogyanya diterapkan pada banyak aspek kehidupan manusia. Utamanya bagaimana kita memperlakukan alam. Ramah dan Rawat. Bukan rahasia lagi bila makin banyak pembudidaya tumbuhan pangan dan non pangan merawat dengan bahan kimia. Mulai dari bibit yang direkayasa genetika, pupuk kimia, penggunaan pestisida kimia, dan lain sebagainya.


Semenjak mengetahui bahwa penggunaan pestisida di lahan pertanian, perkebunan makin meluas dan sadar akan dampaknya pada bahan pangan yang dikonsumsi keluarga. Maka pola konsumsi keluarga kini perlahan bergeser ke organik dan raw. Berhubung diri ini belum mampu berkebun sendiri, maka stok bahan pangan organik disupply oleh pihak ketiga yang terpercaya konsisten memproduksi bahan pangan organik. Bahan pangan organik yang sering keluarga konsumsi antara lain: ayam broiler organik, telur ayam kampung, sayur-sayuran organik, beras organik. Diolah menjadi menu favorit keluarga dan kini lebih memilih konsumsi buah dan sayur mentah lebih sering, dengan dilalap langsung, dibuat smoothies atau juice.

bahan pangan organik
bahan pangan organik


6. Berkebun mudah dari rumah

Sejak dulu tidak ada minat bermain tanah dan tanaman. Sudah lama mengklaim diri tak pandai merawat tanaman dan juga hewan peliharaan. Setelah menyimak kuliah tamu tentang berkebun bersama ahli, yaitu Britania Sari. saya tertarik dan berminat mencoba berkebun. Bukan semata karena ada challenge yang harus dikerjakan, tapi karena ingin bisa.

Dikuatkan lagi oleh statement dari pemateri bahwa "tidak ada tangan panas", mitos yang selama ini mengutukku dan menjadi alasan untuk tidak belajar berkebun. Bahwa semua orang bisa berkebun, akan sukses menanam bila mau berusaha belajar dan praktek. So, saya coba mematahkan mitos sesat itu dan praktek atas teori yang sudah kudapatkan. 

Break my limit! ini yang sedang kulakukan, dengan mendobrak kuadran yang saya tidak bisa dan tidak suka. Harapannya bila saya bisa, lama kelamaan kan menyukai berkebun. Motivasinya karena ingin merasakan manfaatnya yang begitu banyak, selain itu karena saya doyan sayur, pengen banget bisa metik sayur dari halaman sendiri. 

Mulai dari step yang mudah, yaitu regrow, dari tanaman yang mudah tumbuh dan umur pendek, yaitu bayam. Karena gemar membuat minuman seduhan herbal, maka ku coba regrow kunyit, jahe, temu kunci dan sereh. kucoba juga menanam biji pepaya dan benih bayam.

Berkebun mudah dari rumah
 Berkebun mudah dari rumah


Baca juga:

Dari Rumah untuk Lingkungan

Tantangan penanganan sisa konsumsi, umumnya karena alasan: tidak ada waktu, tidak ada lahan. tidak ada yang mengurusi dan lain sebagainya. Semua bisa teratasi bila ada niat bulat memberi kontribusi positif terhadap bumi dan menjadikan hidup berkelanjutan sebagai gaya hidup yang mulia.


Proses pilah dan olah sampah aka sisa konsumsi memang membuat lelah, maka cegah haruslah ditegakkan. Cegah jangan sampai beragam sisa konsumsi itu menumpuk di rumah. Terlebih, sebagai ibu pembaharu kita memikirkan solusi atas tantangan sisa konsumsi ini yang tentu tak ada habisnya. Beberapa cara cegah limbah plastik sudah saya paparkan diatas. Cara cegah lainnya yang bisa (berusaha) dilakukan:

Mengkonsumsi dan memasak secukupnya agar tidak banyak yang terbuang sia-sia. Menerapkan kebiasaan untuk selalu menghabiskan makanan di piring. Mengurangi belanja daring, agar tidak banyak limbah packing. Bila hidup zero waste dirasa masih sulit, maka setidaknya berusaha hidup minim sampah. Cara cegah yang berdampak paling signifikan adalah mengurangi konsumsi kita! Membeli atau mengkonsumsi hanya karena memang kita membutuhkan (need). Pergulatan need dan want lumrah terjadi dalam keseharian manusia. Sungguh tidaklah mudah! Hidup minimalis dalam kemampuan finansial yang baik, dalam kemudahan chek-out kapan pun dan dimana pun, merupakan tantangan besar! Bila tidak ada kesadaran untuk hidup sederhana dan bersahaja, egoisme pasti kan mendominasi.


Dari Rumah untuk Dunia

Demi menguatkan kesadaran dan tekad kita untuk bergeser ke gaya hidup berkelanjutan. Teruslah berada di lingkaran para pembaharu yang se-frekuensi. Karena bila tak ada insight dan mindset pembaharu yang mengedepankan solusi untuk kebaikan, godaan konsumtif akan terus menyeret kita ke permasalahan lingkungan yang tak berujung. Maka, dengan mengikuti Konferensi Ibu Pembaharu, para perempuan bertemu dan berkumpul, membentuk suatu ekosistem yang baik, yang siap berbagi solusi, tips, ilmu, insight dan mindset, agar kita terus ajeg dan bahagia menjalani hidup berkelanjutan, memberikan kontribusi dari rumah untuk lingkungan, dari rumah untuk dunia. Sebagaimana salah satu tema yang diangkat dalam Konferensi Ibu Pembaharu, yakni lingkungan dan hidup yang berkelanjutan.



Konferensi Ibu Pembaharu akan diselenggarakan sebagai perhelatan moment 1 Dekade komunitas Ibu Profesional,  pada tanggal 18-22 Desember 2021. Konferensi Ibu Pembaharu bisa diikuti oleh seluruh perempuan di Indonesia dan Internasional, oleh member dan non member komunitas Ibu Profesional. Kamu bisa mengikutinya dengan mendaftar di website www.ibuprofesional.com atau channel media sosial Ibu Profesional. Mari bergabung dalam eksosistem para pembaharu yang mampu menemukan masalah diri, keluarga dan lingkungannya. Menjadikan masalah tersebut menjadi tantangan, dan menciptakan solusi terbaik demi kebaikan diri, keluarga dan lingkungannya.

Salam Ibu Pembaharu


Referensi:
Wardhani, DK, 2020, Mengompos di Rumah itu Mudah, Halaman Moeka Publishing
https://zerowaste.id/manajemen-sampah/ecobricks/, 2019, Ecobricks.



#1dekadeIbuProfesional
#darirumahuntukdunia
#konferensiibupembaharu
#ibuprofesional
#semestaberkaryauntukindonesia
#ibuprofesionaluntukindonesia

Komentar

Postingan Populer